Mengenal Abikoesno Tjokrosoejoso: Tokoh Pergerakan dan Arsitek Perjuangan Indonesia

Hainusantara.com - Hai, Sobat Nusantara! Kali ini kita akan mengenal lebih dekat sosok Abikoesno Tjokrosoejoso, salah satu tokoh penting yang terlibat dalam pergerakan kemerdekaan Indonesia sekaligus arsitek yang andal. Lahir di Delopo, Madiun, pada 15 Juni 1897, Abikoesno berasal dari keluarga terpandang. Ayahnya, Raden Mas Tjokroamiseno, adalah seorang pejabat pemerintah kolonial dengan jabatan terakhir Wedono di Madiun.

Abikoesno dikenal sebagai sosok cerdas dan kritis sejak usia muda. Kecerdasan dan tekadnya yang kuat membawanya bersekolah di Koningin Emma School Surabaya, sebuah sekolah kejuruan menengah yang bergengsi pada masa itu. Setelah lulus pada tahun 1917, ia tidak berhenti di situ. Ia melanjutkan pendidikan secara otodidak dalam bidang arsitektur melalui kursus tertulis yang materinya dikirim langsung dari Belanda.


Kiprah di Sarekat Islam dan Kritik terhadap Kolonialisme

Pada usia 21 tahun, Abikoesno mulai menapaki jalur politik dengan bergabung dalam Sarekat Islam (SI), sebuah organisasi yang bergerak melawan kolonialisme Belanda. Di kongres ketiga SI, ia tampil sebagai salah satu perwakilan dari Surabaya dan dengan tegas mengkritik kebijakan pemerintah Belanda yang diskriminatif terhadap rakyat pribumi. Kritik yang disampaikan Abikoesno mengangkat isu pengelolaan tanah yang tidak adil, di mana tanah di wilayah perkotaan lebih banyak diberikan kepada orang Eropa dibandingkan pribumi.

Pada tahun 1923, Abikoesno terpilih sebagai pengurus SI Kediri. Ia juga memimpin majalah mingguan Sri Joyoboyo, sebuah media yang menjadi wadah penyebaran kritik terhadap kebijakan pemerintah Hindia Belanda. Majalah ini menyajikan informasi yang aktual, penuh wawasan, dan berani mengkritik tindakan-tindakan para pejabat kolonial.

Abikoesno tidak hanya berjuang melalui kata-kata, tetapi juga melalui pendidikan. Ia terlibat dalam pertemuan-pertemuan politik bersama para tokoh besar seperti H.O.S. Tjokroaminoto, Sukarno, dan Alimin. Pertemuan ini mengasah pemikiran dan idealismenya tentang kemerdekaan serta kesetaraan untuk rakyat Indonesia.


Dari Sarekat Islam hingga PSII

Seiring dengan perkembangan zaman, Sarekat Islam mengalami transformasi menjadi Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII) pada tahun 1929. Ketika H.O.S. Tjokroaminoto wafat pada tahun 1934, Abikoesno dipercaya untuk memimpin PSII. Di bawah kepemimpinannya, PSII mengusung politik non-kooperasi terhadap pemerintah kolonial, sebuah langkah yang kontroversial dan tidak disetujui oleh beberapa anggota partai, termasuk Agus Salim.

Perpecahan di tubuh PSII makin meruncing, terutama setelah Kongres Majelis Taklim di Malang pada tahun 1936 yang menghasilkan keputusan untuk memberlakukan politik hijrah. Akhirnya, Agus Salim dan para pendukungnya keluar dari partai. Di tengah situasi internal yang kurang kondusif ini, Abikoesno tetap berdiri teguh memperjuangkan prinsip-prinsip non-kooperasi yang ia yakini.


Peran dalam Gabungan Politik Indonesia (GAPI) dan Masa Pendudukan Jepang

Pada tahun 1939, situasi internasional semakin memanas dengan terjadinya Perang Dunia II. Di Indonesia, M. Husni Thamrin menggagas terbentuknya Gabungan Politik Indonesia (GAPI) yang bertujuan untuk memperjuangkan hak-hak rakyat. Abikoesno turut serta dalam pembentukan GAPI dan mendukung tuntutan "Indonesia Berparlemen" yang disuarakan dalam Kongres Rakyat Indonesia.

Ketika Jepang menduduki Indonesia pada tahun 1942, Abikoesno diangkat menjadi pemimpin seksi Islam dalam Gerakan 3A. Meski gerakan ini gagal mendapatkan dukungan dari rakyat dan akhirnya dibubarkan, Abikoesno tetap aktif dalam organisasi Pusat Tenaga Rakyat (Putera) yang dibentuk Jepang untuk memanfaatkan tenaga rakyat Indonesia selama pendudukan. Ia juga menjadi anggota Chuo Sangi-in, sebuah dewan pertimbangan pusat yang melibatkan tokoh-tokoh nasionalis dan agama.


Kontribusi dalam Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI)

Menjelang akhir masa pendudukan Jepang, Abikoesno kembali terlibat dalam pergerakan politik dengan menjadi anggota BPUPKI, lembaga yang dibentuk untuk mempersiapkan kemerdekaan Indonesia. Bersama tokoh-tokoh penting lainnya, seperti Sukarno dan Mohammad Hatta, Abikoesno ikut serta dalam merumuskan Piagam Jakarta yang menjadi cikal bakal UUD 1945.

Peran Abikoesno dalam pembentukan dasar negara sangat signifikan, terutama dalam perdebatan soal rumusan sila pertama Pancasila. Meski ide awal mengenai "syariat Islam" dalam sila pertama akhirnya diganti dengan "Ketuhanan yang Maha Esa," peran Abikoesno dalam proses ini menunjukkan bagaimana ia berusaha menjembatani perbedaan pandangan demi persatuan bangsa.

Tidak hanya itu, Abikoesno juga dikenal sebagai salah satu tokoh yang menggagas konsep sumpah presiden, sebuah langkah penting dalam membentuk tata pemerintahan yang kuat setelah kemerdekaan Indonesia.


Peran sebagai Menteri Perhubungan dan Arsitek Bangsa

Setelah kemerdekaan Indonesia diproklamasikan pada 17 Agustus 1945, Abikoesno diangkat sebagai Menteri Perhubungan dalam kabinet pertama Sukarno. Meski masa jabatannya diwarnai dengan berbagai tantangan, Abikoesno tetap menunjukkan dedikasinya dalam membangun infrastruktur transportasi Indonesia yang baru merdeka.

Selain perannya dalam pemerintahan, Abikoesno juga dikenal sebagai seorang arsitek ulung. Berbagai karya arsitektur hasil rancangannya tersebar di berbagai daerah di Indonesia, seperti Masjid Asy-Syuro di Garut, Pasar Cinde di Palembang, dan Masjid Syuhada di Yogyakarta. Karya-karya ini tidak hanya menjadi bukti kemampuan teknisnya, tetapi juga menggambarkan filosofi Abikoesno yang memadukan pendidikan Barat dengan nilai-nilai tradisi Timur dan agama.


Baca juga: Mengungkap Sejarah Resolusi Pemerintahan Tertinggi VOC di Asia


Akhir Hayat dan Warisan Abikoesno Tjokrosoejoso

Setelah pensiun dari jabatan pemerintahan, Abikoesno tetap aktif di PSII dan terus berkiprah dalam dunia arsitektur. Namun, pertikaian dalam PSII yang berujung pada pemecatan dirinya dari kepemimpinan partai pada tahun 1953 menjadi babak terakhir dalam perjalanan politiknya. Ia memilih untuk fokus pada profesi arsitek hingga akhir hayatnya.

Abikoesno meninggal dunia pada 11 November 1968 di Surabaya akibat penyakit tekanan darah tinggi. Jenazahnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Surabaya dengan upacara kenegaraan. Sebagai penghargaan atas jasa-jasanya, pada tahun 1992, Abikoesno dianugerahi Bintang Republik Indonesia Utama oleh Presiden Soeharto.

Warisan Abikoesno Tjokrosoejoso bagi bangsa Indonesia bukan hanya terletak pada perannya dalam pergerakan kemerdekaan, tetapi juga pada dedikasinya dalam membangun bangsa ini melalui karya arsitekturnya. Sosoknya yang tegas, kritis, dan visioner menjadi contoh bagi generasi penerus untuk terus memperjuangkan keadilan dan kemajuan bangsa.


Penutup

Sobat Nusantara, Abikoesno Tjokrosoejoso adalah salah satu tokoh yang berperan besar dalam perjalanan bangsa ini menuju kemerdekaan. Dari perjuangan politik hingga kontribusinya sebagai arsitek, sosok Abikoesno mengajarkan kita pentingnya dedikasi, pendidikan, dan komitmen terhadap prinsip-prinsip yang diyakini. Perjalanan hidupnya menjadi inspirasi bagi kita semua untuk terus berkarya dan berjuang demi kebaikan bangsa dan negara.

Selamat mengenang dan mengapresiasi jasa para pahlawan kita, Sobat Nusantara!