Jejak Sejarah Desa Wiyoro: Dari Pengembaraan Hingga Perjuangan

Hainusantara.com - Halo, Sobat Nusantara! Kali ini kita akan mengulas sejarah sebuah desa yang memiliki jejak panjang dalam pengembaraan dan perjuangan, yaitu Desa Wiyoro. Desa ini berada di Kecamatan Ngadirojo, Kabupaten Pacitan. Sejarah Desa Wiyoro tidak bisa dipisahkan dari Babad Nglorog, sebuah kisah yang mengisahkan tentang perjalanan Ki Bandung dan R. Panji Sanjayarangin. Mereka adalah dua tokoh yang berperan penting dalam terbentuknya wilayah ini.


Awal Pengembaraan Ki Bandung dan R. Panji Sanjayarangin

Kisah ini bermula dari perjalanan seorang pangeran dari tanah Priyangan bernama Ki Bandung yang memutuskan untuk meninggalkan kerajaannya dan mencari kehidupan baru. Perjalanan Ki Bandung membawanya ke Kerajaan Pajang, di mana ia mendirikan sebuah perguruan yang kemudian dikenal luas, bahkan salah satu muridnya adalah R. Panji Sanjayarangin, seorang keturunan bangsawan di Pajang.

Setelah beberapa waktu, Ki Bandung merasa tidak nyaman tinggal di Pajang, sehingga ia memutuskan untuk melanjutkan perjalanannya ke Ponorogo, diikuti oleh R. Panji Sanjayarangin. Kedatangan mereka disambut baik oleh Batara Katong, Adipati Ponorogo, yang memberikan mereka sebidang tanah di daerah pesisir Selatan yang terbentang dari Kaliwuluh di Barat hingga Nglorog, Panggul, dan Sumbreng di Timur.


Perjalanan Menuju Selatan dan Pembentukan Desa-Desa

Pengembaraan Ki Bandung dan R. Panji Sanjayarangin berlanjut ke arah Selatan hingga mereka tiba di sebuah hutan lebat yang kemudian mereka jadikan tempat peristirahatan. Tempat ini sekarang dikenal sebagai Desa Sanggrahan, yang berada di Kecamatan Kebonagung. Dari sini, mereka melanjutkan perjalanan dan menemukan sebuah tempat di dekat Gunung Kunir, yang kemudian didirikan menjadi Dusun Nglaran yang masih ada hingga sekarang di Kecamatan Tulakan.

Setelah menemukan tempat yang cocok, Ki Bandung dan R. Panji Sanjayarangin sepakat untuk memperluas wilayah pengembaraan mereka. Mereka menelusuri Kaliwuluh ke arah Timur hingga mencapai Nglorog, Panggul, dan Sumbreng. Dari keempat lokasi tersebut, Nglorog dianggap sebagai yang paling potensial untuk dijadikan pemukiman baru. Nglorog saat itu masih berupa rawa-rawa, dan Ki Bandung memilih lokasi di Barat Daya untuk didiami. Tempat ini kemudian berkembang menjadi dusun yang ramai, dikenal sebagai Dusun Bandung, yang kini menjadi bagian dari Desa Pagerejo, Kecamatan Ngadirojo.


Kehidupan Ki Bandung sebagai Ngabei di Nglorog

Prestasi Ki Bandung selama pengembaraannya tidak luput dari perhatian Adipati Ponorogo. Ketika terjadi pertemuan penting di bulan Mulud, Adipati Ponorogo sangat terkesan dengan apa yang telah dicapai oleh Ki Bandung. Sebagai bentuk apresiasi, Ki Bandung diangkat menjadi Ngabei di Nglorog. Sebagai seorang Ngabei, Ki Bandung tidak berhenti mengeksplorasi wilayahnya. Suatu hari, ia menjelajah Nglorog ke arah Timur Laut dan menemukan sebuah lokasi yang unik.

Dalam perjalanannya, Ki Bandung melihat dua ekor burung perkutut dengan suara yang sangat merdu. Burung-burung tersebut bertengger di sebuah pohon Tanjung dekat sebuah bangunan joglo dan masjid kecil. Ketika mendekat, ia menemukan bahwa bangunan tersebut kosong tanpa penghuni. Setelah diperiksa, ternyata terdapat surat yang menjelaskan bahwa joglo dan masjid itu adalah patilasan Ki Sunan Geseng, yang sekarang dikenal sebagai Dusun Tanjung, Desa Tanjungpura. Masjid tersebut kini dikenal sebagai Masjid Tiban.

Ki Bandung melanjutkan perjalanan ke arah Utara sepanjang Sungai Ngadiraja, lalu menyeberang ke Timur sungai menuju Utara. Di tempat ini, Ki Bandung memberi tanda dengan bendera kecil. Lokasi tersebut kemudian menjadi Dusun Ndira yang akhirnya diberikan kepada R. Panji Sanjayarangin. Seiring waktu, Dusun Ndira berkembang menjadi padusunan yang ramai dan terus meluas hingga ke Utara, yang kini dikenal sebagai Dusun Njayan.


Baca juga: Sejarah Desa Kedamean: Warisan Tradisi dan Kepemimpinan yang Terus Berkembang


Riwayat Hidup dan Keteladanan Ki Bandung

Setelah diangkat menjadi Ngabei di Nglorog, Ki Bandung menikah dengan putri Ki Ageng Djantur, yang dikabarkan merupakan keturunan bidadari. Dari pernikahan tersebut, Ki Bandung dikaruniai empat orang anak, dua di antaranya perempuan dan dua laki-laki. Anak perempuan tertua mengalami sedikit kecacatan fisik, sementara anak perempuan kedua sangat cantik. Anak laki-laki pertama bernama Ki Manten atau Ki Satriyo, sedangkan anak laki-laki kedua bernama Bayi.

Kemitraan Ki Bandung dengan tokoh-tokoh penting seperti Ki Ageng Brontok dan Ki Ageng Klesem juga menjadi bagian dari perjalanan hidupnya. Suatu hari, putri Ki Bandung yang sudah gadis dijodohkan dengan putra Ki Ageng Klesem bernama Ki Wanapala. Meskipun awalnya Ki Wanapala tidak tertarik karena penampilan fisik putri Ki Bandung, kesediaannya untuk menikah akhirnya tercapai setelah Ki Bandung menawarkan pangkat Ngabei sebagai hadiah.

Setelah menikah, Ki Wanapala diberikan tugas oleh Ki Bandung untuk membuka lahan baru di sebelah utara Dusun Tanjung, yang kelak menjadi tempat tinggalnya dan meninggalkan sejarah patilasan sendiri. Setiap hari, Ki Wanapala bekerja keras membuka lahan tersebut. Ki Bandung, sebagai ayah yang peduli, selalu bertanya tentang kemajuan pekerjaan Ki Wanapala dengan pertanyaan yang sama setiap hari: "Piye thole, apa babadanmu wis oleh amba?" yang berarti, "Bagaimana ananda, apakah pekerjaan lahanmu sudah lebar?"

Lama-kelamaan, Ki Wanapala merasa lelah dengan pertanyaan yang sama setiap hari. Meskipun ia marah, ia tetap menghormati ayahnya dan menjawab dengan sopan: "Ooo... Bapak, daya wiyara" yang berarti, "O Bapak, belum bisa lebar." Mendengar jawaban ini, Ki Bandung tidak marah, malah tersenyum dan memberi nama tempat itu dengan nama "Wiyara." Tempat ini kemudian berkembang menjadi Desa Wiyara yang lebih dikenal sekarang sebagai Desa Wiyoro.


Kesimpulan: Warisan Ki Bandung dan Pengaruhnya Hingga Kini

Kisah pengembaraan Ki Bandung dan R. Panji Sanjayarangin bukan sekadar cerita sejarah, tetapi juga cerminan dari semangat penjelajahan dan perjuangan yang diwariskan kepada generasi penerus. Desa Wiyoro, dengan segala kisahnya, adalah bukti nyata dari ketekunan dan kebijaksanaan para pendahulu kita.

Melalui kisah ini, kita dapat mengambil pelajaran berharga tentang pentingnya kerja keras, kemitraan, dan ketekunan dalam menjalani kehidupan. Semoga kita semua, Sobat Nusantara, dapat terus menjaga dan melestarikan warisan yang telah ditinggalkan oleh leluhur kita, seperti yang dilakukan oleh Ki Bandung dan R. Panji Sanjayarangin.

Semoga cerita ini bisa menjadi inspirasi bagi kita semua untuk terus menjelajah, bekerja keras, dan berjuang demi masa depan yang lebih baik. Sampai jumpa di cerita selanjutnya, Sobat Nusantara!